feedburner
Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

feedburner count

Husain ibn Mansur al-Hallaj - Kisah dan Legenda al-Hallaj Part 3

Labels: ,

Al-Hallaj kemudian mengusapkan kedua lengannya yang buntung kewajahnya sehingga wajah dan lengannya berdarah. "Mengapa engkau mengusap wajahmu dengan darah?" tanya orang-orang. Ia menjawab bahwa karena ia sudah kehilangan darah sedemikian banyak dan wajahnya menjadi pucat maka ia mengusap pipinya dengan darah agar orang jangan menyangka bahwa ia takut mati.

"Mengapa," tanya mereka, "Engkau membasahi lenganmu dengan darah?" Ia menjawab, "Aku sedang berwudu. Sebab, dalam salat cinta. Hanya ada dua rakaat, dan wudhunya dilakukan dengan darah."

Sang algojo kemudian mencungkil mata al-Hallaj. Orang-orang pun ribut dan berteriak. Sebagian menangis dan sebagian lainnya melontarkan sumpah serapah, lalu, telinga dan hidungnya dipotong. Sang algojo hendak memotong lidahnya. Al-Hallaj memohon waktu sebentar untuk mengatakan sesuatu, "Ya Allah, janganlah engkau usir orang-orang ini dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan karena Engkau. Segala puji bagi Allah, mereka memotong tanganku karena Engkau semata. Dan kalau mereka memenggal kepalaku, itu pun mereka lakukan karena keagungan-Mu." Kemudian ia mengutip sebuah ayat Al-Qur'an:

"Orang-orang yang mengingkari Hari kiamat bersegera ingin mengetahuinya, tetapi orang-orang beriman berhati-hati karena mereka tahu bahwa itu adalah benar."

Kata-kata terakhirnya adalah: Bagi mereka yang ada dalam ekstase "Cukuplah sudah satu kekasih."

Tubuhnya yang terpotong, yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dibiarkan berada di atas tiang gantungan sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Esoknya, baru sang algojo memenggal kepalanya. Ketika kepalanya dipenggal al-Hallaj tersenyum dan meninggal dunia. Orang-orang berteriak tapi al-Hallaj menunjukkan betapa berbahagia ia bersama dengan kehendak Allah. Setiap bagian tubuhnya berseru, "Akulah kebenaran", sewaktu meninggal dunia setiap tetesan darahnya yang jatuh ke tanah membentuk nama Allah.

Hari berikutnya mereka yang berkomplot menentangnya, memutuskan bahwa bahkan tubuh al-Hallaj yang sudah terpotong-potong pun masih menimbulkan kesulitan bagi mereka. Karena itu, mereka pun memerintahkan agar tubuhnya di bakar saja. Malahan, abu jenazahnya berseru, "Akulah Kebenaran."

Al-Hallaj telah meramalkan kematiannya sendiri dan memberitahu pembantunya bahwa ketika abu jenazahnya dibuang ke sungai Tigris permukaan sungai akan naik sehingga seluruh Baghdad pun terancam tenggelam. Ia memerintahkan pembantunya menaruh jubahnya ke sungai untuk meredakan ancaman banjir, pada hari ketiga ketika abu jenazahnya diterbangkan oleh angin ke sungai. Permukaan air pun terbakar, air mulai naik, dan sang pembantu melakukan apa yang diperintahkannya, permukaan air pun surut, api padam, dan abu jenazah al-Hallaj pun diam.

Waktu itu, seorang tokoh terkemuka mengatakan bahwa ia melakukan salat sepanjang malam di bawah tiang gantungan sepanjang malam. Ketika fajar menyingsing, terdengarlah suara gaib berseru, "Kami berikan salah satu rahasia kami dan ia tidak menjaganya. Sungguh, inilah hukuman bagi mereka yang mengungkapkan segenap rahasia kami."

Syibli menyebutkan bahwa, suatu malam. Ia mimpi bertemu dengan al-Hallaj dan bertanya, "Bagaimana Allah menghakimi orang-orang ini?" Al-Hallaj menjawab bahwa mereka yang tahu bahwasanya ia benar dan juga mendukungnya berbuat demikian karena Allah semata. Sementara itu, mereka yang ingin melihat dirinya mati tidaklah mengetahui hakikat kebenaran, oleh sebab itu, mereka menginginkan kematiannya, kematiannya karena Allah semata. Allah merahmati kedua kelompok ini. Keduanya beroleh berkah dan rahmat dari Allah.



Husain ibn Mansur al-Hallaj - Kisah dan Legenda al-Hallaj Part 2

Labels: ,

Kisah penangkapan dan eksekusi atas dirinya sangat menyentuh dan mengharu-biru kalbu. Suatu hari, ia berkata kepada sahabatnya, Syibli, bahwa ia sibuk dengan tugas amat penting yang bakal mengantarkan dirinya pada kematiannya. Sewaktu ia sudah terkenal dan berbagai keajaibannya dibicarakan banyak orang. Ia menarik sejumlah besar pengikut dan juga melahirkan musuh yang sama banyaknya, akhirnya, khalifah sendiri mengetahui bahwa ia mengucapkan kata-kata bid'ah, "Akulah Kebenaran." Musuh al-Hallaj menjebaknya untuk mengucapkan, Dia-lah Kebenaran ia hanya menjawab, "Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (al-Hallaj) telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah demikian."

Beberapa tahun sebelumnya, ketika al-Hallaj belajar dibawah bimbingan Junaid, ia diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang. Beberapa tahun kemudian, ia datang kembali menemui Junaid dengan sejumlah pertanyaan. Junaid hanya menjawab bahwa tak lama lagi ia bakal melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri, Tampaknya, ramalan ini benar adanya. Junaid ditanya ihwal apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan dengan cara yang bakal bisa menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab, "Bunuhlah ia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan." al-Hallaj di jebloskan ke penjara. Pada malam pertama sewaktu ia dipenjara, para sipir penjara mencari-carinya. Mereka heran. Ternyata selnya kosong. Pada malam kedua, bukan hanya al-Hallaj yang hilang, penjara itu sendiri pun hilang!

Pada malam ketiga, segala sesuatunya kembali normal. Para sipir penjara itu bertanya, di mana engkau pada malam pertama? ia menjawab, "pada malam pertama aku ada di hadirat Allah. Karena itu aku tidak ada di sini. Pada malam kedua, Allah ada di sini, karenanya aku dan penjara ini tidak ada. Pada malam ketiga aku di suruh kembali!"

Beberapa hari sebelum dieksekusi, ia berjumpa dengan sekitar tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dan semuanya dibelenggu. Ia berkata bahwa ia akan membebaskan mereka semua, mereka heran karena ia berbicara hanya tentang kebebasan mereka dan bukan kebebasannya sendiri. Ia berkata kepada mereka: "Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini," kemudian ia menunjuk belenggu-belenggu itu dengan jarinya dan semuanya pun terbuka. Para narapidana pun heran bagaimana mereka bisa melarikan diri, karena semua pintu terkunci. Ia menunjukkan jarinya ke tembok, dan terbukalah tembok itu. "Engkau tidak ikut bersama kami?" tanya mereka "Tidak, ada sebuah rahasia yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!" jawabnya

Esoknya, para sipir penjara bertanya kepadanya tentang yang terjadi pada narapidana lainnya. Ia menjawab bahwa ia telah membebaskan mereka semua.

"Mengapa engkau tidak sekalian pergi?" tanya mereka "Dia mencela dan menyalahkanku. Karenanya aku harus tetap tinggal di sini untuk menerima hukuman," jawabnya

Sang khalifah yang mendengar percakapan ini, berpikir bahwa al-Hallaj bakal menimbulkan kesulitan, karena itu, ia memerintahkan, "Bunuhlah atau cambuklah sampai ia menarik kembali ucapannya!" Al-Hallaj dicambuk tiga ratus kali dengan rotan, setiap kali pukulan mengenai tubuhnya terdengar suara gaib berseru, "Jangan takut, putra Manshur."

Mengenang hari itu, seorang sufi syekh Shaffar, mengatakan aku lebih percaya pada akidah sang algojo ketimbang akidah al-Hallaj. Sang algojo pastilah mempunyai akidah yang kuat dalam menjalankan Hukum Ilahi sebab suara itu bisa didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap mantap.

Al-Hallaj digiring untuk di eksekusi. Ratusan orang berkumpul. Ketika ia melihat kerumunan orang, ia berseru lantang, "Haqq, Haqq, ana al-Haqq --Kebenaran, kebenaran, Akulah kebenaran."

Pada waktu itu, seorang darwis memohon al-Hallaj untuk mengajarinya tentang cinta. Al-Hallaj mengatakan bahwa sang darwis akan melihat dan mengetahui hakikat cinta pada hari itu, hari esok, dan hari sesudahnya.

Al-Hallaj dibunuh pada hari itu. Pada hari kedua tubuhnya dibakar, dan pada hari ketiga abunya ditebarkan dengan angin, Melalui kematiannya, al-Hallaj menunjukkan bahwa cinta berarti menanggung derita dan kesengsaraan demi orang lain.

Ketika menuju ke tempat eksekusi, ia berjalan dengan sedemikian bangga. "Mengapa engkau berjalan sedemikian bangga?" tanya orang-orang. "Aku bangga lantaran aku tengah berjalan menuju ketempat pejagalanku," jawabnya kemudian ia melantunkan syair demikian:

Kekasihku tak bersalah
Diberi aku anggur dan amat memperhatikanku,
laksana tuan rumah
perhatikan sang tamu
Setelah berlalu sekian lama,
dia menghunus pedang dan
menggelar tikar pembantaian
Inilah balasan buat mereka yang minum anggur lama
bersama dengan singa tua di musim panas.


Ketika dibawa ke tiang gantungan, dengan suka rela ia menaiki tangga sendiri. Seseorang bertanya tentang hal (keadaan spiritual atau emosi batin)-nya. Ia menjawab bahwa perjalanan spiritual para pahlawan, justru dimulai di puncak tiang gantungan, ia berdoa dan berjalan menuju puncak itu.

Sahabatnya, Syibli, hadir di situ dan bertanya, "Apa itu tasawuf?" al-Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan Syibli saat itu adalah tingkatan tasawuf paling rendah. "Adakah yang lebih tinggi dari ini?" tanya Syibli "Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya!", jawab al-Hallaj.

Ketika al-Hallaj sudah berada di tiang gantungan, setan datang kepadanya dan bertanya, "Engkau bilang aku dan aku juga bilang aku. Mengapa gerangan engkau menerima rahmat abadi dari Allah dan aku, kutukan abadi?"

Al-Hallaj menjawab, "Engkau bilang aku dan melihat dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diri dari keakuan-ku. Aku beroleh rahmat dan engkau, kutukan. Memikirkan diri sendiri tidaklah benar dan memisahkan diri dari kedirian adalah amalan paling baik."

Kerumunan orang mulai melempari al-Hallaj dengan batu. Namun, ketika Syibli melemparkan bunga kepadanya untuk pertama kalinya, al-Hallaj merasa kesakitan. Seseorang bertanya, "Engkau tidak merasa kesakitan dilempari batu, tapi lembaran sekuntum bunga justru membuatmu kesakitan mengapa?

Al-Hallaj menjawab "Orang-orang yang jahil dan bodoh bisa dimaafkan. Sulit rasanya melihat Syibli melempar lantaran ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukannya."

Sang algojo pun memotong kedua tangannya. Al-Hallaj tertawa dan berkata, "Memang mudah memotong tangan seorang yang terbelenggu. Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan segenap sifat yang memisahkan seseorang dari Allah." (dengan kata lain, meninggalkan alam kemajemukan dan bersatu dengan Allah membutuhkan usaha keras dan luar biasa). Sang Algojo lantas memotong kedua kakinya. Al-Hallaj tersenyum dan berkata, "Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini, aku masih punya dua kaki lainnya untuk berjalan di kedua alam. Potonglah kalau kau memang bisa melakukannya!"



Husain ibn Mansur al-Hallaj - Kisah dan Legenda al-Hallaj Part 1

Labels: ,

Bagaimana mulanya Husain ibn manshur di sebut al-Hallaj sebuah nama yang berarti penggaru (khususnya kapas)? Menurut Aththar, suatu hari Husain ibn Manshur melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu. Biji-bijinya pun terpisah dari serat kapas. Ia juga dijuluki Hallaj- al-asrar --penggaru segenap Kalbu-- karena ia mampu membaca pikiran orang dan menjawab berbagai pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya. Al-Hallaj terkenal karena berbagai keajaibanya. Salah satu orang muridnya menuturkan kisah berikut ini:

Sewaktu menunaikan ibadah haji kedua kalinya, al-Hallaj pergi ke sebuah gunung untuk mengasingkan diri bersama beberapa orang pengikutnya. Sesudah makan malam, al-Hallaj mengatakan bahwa ia ingin makan manisan.

Murid-muridnya kebingungan lantaran mereka telah memakan habis semua bekal yang mereka bawa. Al-Hallaj tersenyum dan berjalan menembus kegelapan malam. Beberapa menit kemudian, ia kembali sambil membawa makanan berupa kue-kue hangat yang belum pernah mereka ketahui sebelumya. Ia meminta mereka untuk makan bersamanya, seorang muridnya, yang penasaran dan ingin tahu dari mana al-Hallaj memperolehnya, menyembunyikan kue bagiannya, ketika mereka kembali dari mengasingkan diri sang murid ini mencari seseorang yang bisa mengetahui asal kue itu, seseorang dari Zabid, sebuah kota yang jauh dari situ, mengetahui bahwa kue itu berasal dari kotanya, sang murid yang keheranan ini pun sadar bahwa al-Hallaj memperoleh kue itu secara ajaib. "Tak ada seorang pun dan hanya jin saja yang sanggup menempuh jarak sedemikian jauh dalam waktu singkat"! serunya.

Pada kesempatan lain al-Hallaj mengarungi padang pasir bersama sekelompok orang dalam perjalanan menuju Mekah. Di suatu tempat, sahabat-sahabatnya menginginkan buah ara, dan ia pun mengambil senampan penuh buah ara dari udara. Kemudian mereka meminta halwa, ia membawa senampan penuh halwa hangat dan berlapis gula serta memberikannya kepada mereka, usai memakannya mereka mengatakan bahwa kue itu khas berasal dari daerah anu di Bagdad, mereka bertanya ihwal bagaimana ia memperolehnya. Ia hanya menjawab, baginya Baghdad dan padang pasir sama dan tidak ada bedanya, kemudian mereka meminta kurma, ia diam sejenak berdiri dan menyuruh mereka untuk menggerakkan tubuh mereka seperti mereka menggoyang-goyang pohon kurma, mereka melakukannya, dan kurma-kurma segar pun berjatuhan dari lengan baju mereka.

Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena keajaibannya, melainkan juga karena kezuhudannya. Pada usia lima puluh tahun ia mengatakan bahwa ia memilih untuk tidak mengikuti agama tertentu, melainkan mengambil dan mengamalkan praktek apa saja yang paling sulit bagi nafs (ego)-nya dari setiap agama. Ia tidak pernah meninggalkan shalat wajib, dengan shalat wajib ini ia melakukan wudhu jasmani secara sempurna.

Ketika ia mulai menempuh jalan ini, ia hanya mempunyai sehelai jubah tua dan dan bertambal yang telah dikenakannya selama bertahun-tahun. Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa, dan diketahui bahwa ada banyak kutu dan serangga bersarang didalamnya --yang salah satunya berbobot setengah ons. Pada kesempatan lain, ketika ia memasuki sebuah desa, orang-orang melihat kalajengking besar yang mengikutinya. Mereka ingin membunuh kalajengking itu, ia menghentikan mereka seraya mengatakan bahwa kalajengking itu telah bersahabat dengannya selama dua belas tahun, tampaknya ia sudah sangat lupa pada nyeri dan sakit jasmani.

Kezuhudan al-Hallaj adalah sarana yang ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-Nya ia menjalin hubungan sangat khusus sifatnya, suatu hari, pada waktu musim ibadah haji di Mekah, ia melihat orang-orang bersujud dan berdoa, "Wahai Engkau. Pembimbing mereka yang tersesat, Engkau jauh di atas segenap pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat yang mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa aku tak sanggup bersyukur dengan sebaik-baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di tempatku, sebab yang demikian itulah satu-satunya bentuk syukur yang benar."



Husain ibn Mansur al-Hallaj - Kehidupan Sang Martir Part 2

Labels: ,

Posting ini adalah kelanjutan dari posting saya sebelumnya tentang Kehidupan Sang Martir.

Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Semuanya ini makin membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai perjanjian dengan jin. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.

Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.

Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia. Ia menjadi seorang Jesus Muslim, sungguh ia menginginkan tiang gantungan.

Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."

Yang mengherankan, kata-kata ini mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan kelas penguasa. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembankan Allah dan Islam atas dirinya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.

Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat dan, dengan harapan meraih kekuasaan, berusaha memanfaatkan pengaruhnya pada masyarakat untuk menimbulkan gejolak dan keresahan. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial. Di atas segalanya, berbagai gejolak pun muncul dan sudah pasti berakhir secara dramatis.

Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.

Sang penasehat khalifah termasuk di antara sahabat al-Hallaj dan untuk sementara berhasil mencegah upaya untuk membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.

Tak lama kemudian, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.

Demikian, al-Hallaj dibunuh secara brutal. Akan tetapi ia tetap hidup dalam kalbu orang-orang yang merindukan capaian rohaninya. Dengan caranya sendiri, ia telah menunjukkan pada para pencari kebenaran langkah-langkah yang mesti ditempuh sang pecinta agar sampai pada kekasih.

Ketika Hamba dan Tuan Saling Berhadapan

Labels:


Apabila wujud makhluk 'bersatu' dengan wujud Khaliq maka wujud keduanya tidak lagi dapat dipisahkan. Pada hakikatnya mereka adalah Wujud Yang Satu jua.

Apabila semua hubungan dengan dunia telah diputus oleh seorang hamba yang telah 'bersatu' dengan Allah, maka ia akan menerima kekudusan atau kesucian yang kekal, di mana tidak ada cacat dan cela. Mereka akan menjadi orang yang dipilih oleh Tuhan, seperti yang ada dalam firman-Nya, "Mereka itu adalah penghuni surga dan mereka kekal di dalamnya" (Al-Araf. 42).

Tidak seorangpun dapat menjadi penghuni surga, melainkan sesuai dengan syarat-syaratnya. Kemudian Allah menyebutkan siapa sebenarnya mereka, sesuai dengan bunyi firman-Nya:

“Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh" (Al-Araf.. 42).

Syarat itu memang terasa berat bagi orang yang jauh dari Tuhannya, tetapi sangat ringan bagi mereka yang sudah Tuhan Penciptanya melalui hakikat pengenalan, yakni makrifat. Walau demikian, Allah Swt. Maha Pengasih. Dia tidak akan membebani hamba-Nya dengan kewajiban, melainkan sekadar yang mampu dilakukannya. Kewajiban yang diberikan Allah itu berbeda-beda untuk setiap manusia, sesuai dengan pakaian makrifatnya masing-masing.

Allah berfirman:

"Kami tidak memikulkan kewajiban kepada seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya" (Al-Araf. 42).

Dalam memikul tugas dan kewajibannya terhadap Tuhan Sang Pencipta, mereka harus mengimbanginya dengan banyak bersabar dan berhati teguh, baik dalam keadaan sadar atau tidak, namun yang pasti, Allah selalu bersama mereka yang bersabar.

Wujud Diri dan Sirrus-sirr

Labels:


Wujud diri yang paling halus ialah perasaan ruhani yang muncul di dalam batin yang disebut dengan Sirrus-sirr, yakni rahasia dari rahasia. Hal ini dapat dirasakan oleh siapa pun yang telah diberi karunia oleh Allah. Nabi Musa a.s. meninggalkan keluarganya ketika beliau melihat api di lereng bukit Thursina. Apakah yang beliau lihat sebenarnya? Mata kepalanya melihat api, yakni Naar, tetapi mata hatinya melihat cahaya, yakni Nur. Mata kepalanya melihat makhluk (khalqan), tetapi mata hatinya metihat Al-Haqq (Haqqan) sesuai dengan firman Allah Swt.:

"Dia berkata kepada keluarganya, 'Tunggulah di sini! Sesungguhnya aku melihat api di sana!"
(Thaha: 10).

Api itu menarik perhatian Nabi Musa a.s. dan hatinya terkesiap. Karena itu beliau pergi ke tempat api itu berada dan berusaha mengambil percikan apinya. Beliau memerintahkan anak dan isterinya supaya menunggu di tempatnya hingga beliau kembali.

Sebenarnya panggilan ruhani telah menjemputnya dari tempat yang tinggi (lereng bukit Thursina) dan menarik Nabi Musa a.s. untuk datang ke tempat itu, sehingga beliau sanggup meningalkan anak isterinya di tempat yang gelap-gulita di padang pasir yang luas. Itulah takdir yang sudah ditentukan Tuhan untuk menarik ahlullah ke tempat yang sudah ditentukan dan pada masa yang telah ditentukan pula.

Wahai hukum! Tetaplah di tempatmu. Wahai ilmu! Majulah dengan nama Allah. Wahai diri yang rendah! Tetaplah di tempatmu. Wahai hati dan sirr, marilah ke mari dan beranjaklah.

Alangkah ruginya mereka yang tidak memahami dan tidak mencintai peristiwa ini, yang tidak percaya karena tidak mengalaminya. Alangkah ruginya mereka! Alangkah jauhnya mereka dari Al-Haqq! Alangkah muflisnya mereka!

Allah berfirman:

“………semoga Aku dapat membawa suatu berita kepadamu!" (Thaha: 1 0).

Coba renungkanlah kembali firman-Nya itu, bila yang tercantum pada firman itu adalah, "Tunggulah di sini! semoga aku dapat membawa suatu berita kepadamu!". Meskipun lisan Musa a.s. mengatakan kata-kata itu dengan maksud yang zahir, yaitu untuk mendapatkan sepercik api untuk menghangatkan badan di tengah malam yang dingin di padang pasir yang menghampar. Namun hati dan sirr menariknya kepada takdir yang lain Beliau diundang untuk menghadap Allah dan menerima berita bahwa beliau telah diangkat menjadi Nabi dan Rasul bagi kaumnya, yaitu Bani Israel.

Beliau sebenarnya telah tersesat di tengah padang pasir itu. Tanda ke tempat tujuannya sudah tidak tampak lagi. Naqibun-Nuqabak, yaitu Malaikat Jibril a.s. telah berada di hadapan Musa a.s., padahal sebelumnya Malaikat itu tidak pernah berhadapan secara zahir di hadapannya. Malaikat itu berkata kepada Musa a.s., "Engkau tentu ingin agar engkau tidak pernah dijadikan sebagai Nabi, tetapi takdir Allah telah menjadikanmu. Apakah engkau mengetahui mengapa engkau dipilih Allah untuk menjadi Nabi?"

Haqq dan Bathil Selalu Bertentangan

Labels:

Apabila datang yang haqq maka yang bathil akan lenyap. Dan sempurnalah peringkat Wilayah (Kewalian).

Huruf yang keempat ialah huruf Fa' yang melambangkan fana', yaitu penghapusan dan pengosongan diri dari segala rupa dan bentuk. Kekosongan inilah yang dituntut ada dalam diri manusia. Tegasnya, kebathilan (kepalsuan) akan musnah bila sifat-sifat Ketuhanan datang ke dalam diri seseorang. Jika sifat dan pikiran tentang dunia yang sangat banyak itu lenyap dari hati seseorang, keesaan dan kesatuan (dengan Allah) akan menggantikannya.

Sebenarnya Yang Haqq itu selalu ada. la tidak hilang dan binasa, yang terjadi ialah Si Salik itu menyadari dan merasakan perasaan 'bersatu' dengan Tuhannya. Dengan perasaan bersatu itu, si Salik menerima keridhaan Allah. Wujud yang sementara (insan) menjumpai wujudnya yang sebenarnya dengan menyadari rahasia yang qadim itu. Firman Allah:

"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah" (Al-Qasas: 88).

Untuk menyadari Yang Haqq diperlukan keridhaan dan izin Allah. Apabila kita berbuat sesuatu karena Allah dan perbuatan itu sesuai dengan keridhaan dan izin-Nya, kita akan dekat dengan Dia. Kemudian kita akan merasakan semuanya lenyap, kecuali rasa 'bersatu' antara Yang Ridha (Allah) dengan yang diridhai (insan), karena jika Allah tidak mengizinkan sesuatu terjadi, walaupun manusia menghendakinya, apa yang diinginkan manusia itu tidak akan pernah terlaksana. Hal itu dapat dibuktikan melalui firman Allah Swt. yang berbunyi:

"Apabila hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Dekat! " (Al-Baqarah. 186).

Jelasnya, Allah Dekat kepadanya karena taqarrub hamba itu kepada Allah Swt. Dan taqarrub itu harus dilakukan dengan mengenyampingkan 'ghairullah', yakni yang selain Allah, dalam batinnya.

Jika seseorang bertindak dan hidup untuk ghairullah, berarti ia menyekutukan Allah. Ia meletakkan ghairullah di tempat Allah. Perbuatan ini adalah dosa yang paling besar, yang tidak diampuni Allah karena ia telah berbuat syirik atau menyekutukan Allah dengan ghairullah. Orang yang berbuat syirik akan binasa.

Apabila seseorang lenyap, yakni dalam keadaan fana', maka ia akan sampai kepada peringkat 'bersatu' dengan Allah.

Firman Allah:

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman- taman dan sungai-sungai. Di tempat yang disenanginya, yakni di sisi Tuhan Yang Kuasa" (Al-Qamar. 54-55).

Tempat itu adalah tempat Hakikat yang sebenarnya, Hakikat bagi segala hakikat, tempat kesatuan dan keesaan dengan Allah Swt. Itulah tempat makhluk yang dinamakan 'hamba' untuk bertatap muka dengan Khaliq yang disembahnya sebagai 'Tuan', tempat yang dikhususkan bagi para Nabi, para Waliullah, dan para kekasih Allah. Allah beserta orang yang benar.

Gemetar Karena Allah

Labels:

“Gemetar” dalam surat Al-Anfal ayat 2 tersebut berarti kagum, takut, dan cinta kepada Allah. Dengan mengingat dan menyebut nama-nama Allah itu, hati mereka akan terjaga dari tidurnya yang lelap. Mereka dikejutkan oleh sebutan nama-nama Allah Yang Maha Suci dan Maha Agung.

Ketika itu pula hati akan menjadi bersih, suci, dan bersinar. Semua debu angan-angan yang mengotori permukaan hati akan terkikis habis. Kini hati itu sunyi dari segala yang mengganggunya. Bahkan berbagai rahasia dari alam gaib menembus masuk ke dalam hati dan terbayang olehnya menelusuri pintu ilham yang dibuka oleh cahaya di permukaan hati itu. Hanya dalam keadaan seperti itu hati akan menangkap karunia halus yang dilimpahkan Allah kepadanya, yakni ketika orang yang berilmu zahir selalu sibuk menggali dan menimbang ilmunya dengan akal dan pikirannya, sedangkan ahli kebenaran yang telah mengenal hakikat terus sibuk membersihkan dan mengilaukan hati dengan berzikir sebanyak-banyaknya dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Kedamaian dan ketenteraman pusat rahasia hati dapat dicapai dengan membersihkan hati dari semua ‘ghairullah' (yang selain Allah) dan mempersiapkan hatinya agar dapat 'memandang Allah' dan hanya menerima Allah yang akan masuk ke dalam hatinya apabila hati itu telah dihiasi dengan rasa cinta terhadap Allah.

Cara untuk membersihkan hati itu ialah dengan selalu berzikir dalam hati kepada Allah dan membaca Laailaha illallah.

Apabila hati dan pusat rahasia yang ada di dalamnya telah tenteram maka sempurnalah sudah tingkatan kedua yang dilambangkan dengan huruf Shad.

Huruf ketiga ialah Wau. Wau bermakna Wilayah (Kewalian), yaitu keadaan kudus dan hening yang ada pada jiwa para kekasih Allah dan Waliullah. Keadaan ini tergantung pada kesucian batin seseorang. Allah berfirman tentang Waliullah, seperti berikut:

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa khwatir terhadap diri mereka dan tidak merasa bersedih hati" (Yunus: 62).

Firman-Nya lagi:

"Mereka mendapat berita gembira dalam kehidupan di dunia dan di akhirat" (Yunus: 64).

Orang yang sampai ke tahap kudus dan suci ini, mendapat kesadaran, rasa cinta, dan rasa 'bersatu' sepenuhnya dengan Allah. Allah akan menghiasinya dengan akhlak yang mulia dan tingkah laku yang terbaik. Ini adalah anugerah Allah kepada orang yang suci.

Pada tingkatan ini si Salik akan melepaskan sifat dan perangainya yang lebih mengedepankan masalah-masalah keduniaan yang fana' ini. Kemudian Allah akan memberinya pakaian yang mengandung sifat-sifat atau akhlak Ketuhanan. Apabila Allah telah mencintai seorang hamba-Nya, niscaya segala kehendak dan masyiah-Nya akan ditakdirkan kepada orang itu, sehingga ia dapat melihat dengan mata Allah, mendengar dengan telinga Allah, dan berkata-kata dengan lisan Allah, dan bertindak serta berkuasa dengan tindakan dan kekuasaan Allah.' Demikianlah perumpamaan betapa dekatnya seorang Waliullah itu dengan Tuhannya. Perasaan ini hanya dapat dialami oleh para Waliullah dan para kekasih Allah yang telah sampai pada tahap rasa 'bersatu dan berpadu' dengan Allah. Mereka benar-benar merasakan kedekatan yang alami tersebut dalam sanubari mereka.

Bersihkan dirimu dari ghairullah dan itsbat-kan Allah saja dalam dirimu, karena:

"Yang haq telah datang, maka hancurlah yang bathil. Sesungguhnya yang bathil itu pasti hancur" (AI-Isra': 8 1).

Taubat Ruhani

Labels:

Taubat ruhani atau taubat batin peranannya ada di dalam hati. Peranannya adalah membersihkan dan mensucikan hati dari keinginan-keinginan duniawi yang diimbangi dengan kesungguhan serta penuh harap untuk mencapai dan mengenal Allah.

Taubat ialah keadaan di mana manusia menyadari kesalahan atau dosa yang telah diperbuat dan mulai menyadari perbuatan yang baik dan benar, sehingga muncul perasaan menyesal, yang kemudian membangkitkan dirinya untuk meninggalkan dosa-dosa itu dan berjuang untuk mendapat kebaikan dan kebenaran.

Peringkat kedua ialah keadaan damai dan sentosa. Ini berarti Shafa' yang dilambangkan dengan huruf Shad. Tingkatan ini juga terbagi menjadi dua langkah yang perlu dilaksanakan. Pertama, langkah menuju pembersihan hati. Kedua, langkah menuju pusat rahasia (secret centre).

Hati yang damai dan tenteram adalah hati yang bebas dari keresahan dan perasaan gundah-gulana. Perasaan negatif ini disebabkan oleh beban hidup yang bersifat kebendaan, seperti makan, minum, tidur, perbincangan yang sia-sia, dan sebagainya.

Beban-beban duniawi itu seperti tarikan gravitasi bumi, menarik hati ke bawah dan mematikan tindakan untuk membebaskan hati. Selain itu, ada pula masalah-masalah duniawi yang mengikat atau mengekang hati, seperti hawa nafsu, harta benda yang kita miliki, uang, dan kecintaan kepada keluarga. Semua itu dapat mengikat hati ke bumi dan menghalanginya terbang ke langit tinggi.

Zikrullah (mengingat Allah) atau berzikir kepada Allah Swt. adalah cara untuk memerdekakan dan membersihkan hati. Pada tingkat Permulaan, zikir dibacakan secara zahir, yaitu dengan membaca berkali-kali nama-nama Allah dengan suara keras didengar oleh diri sendiri dan orang lain. Ketika zikir telah menjadi kebiasaan dan dilakukan secara berkesinambungan, itu pertanda bahwa zikrullah yang dilakukannya telah menyerap ke dalam hati. Setelah yakin bahwa zikir yang dinyanyikannya dengan suara keras sudah cukup, maka ia boleh melantunkan zikir itu di dalam hati, yakni dalam suasana hening tanpa suara. Firman Allah:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang apabila disebut (nama) Allah, gemetarlah hatinya dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhannyalah mereka bertawakal" (Al Anfal: 2).

TASAWUF

Labels:

Istilah Sufi diambil dari bahasa Arab yaitu saf yang berarti suci bersih. Sebutan Sufi diberi kepada mereka yang hati dan jiwanya suci bersih dan disinari dengan cahaya hikmah, tauhid, dan 'kesatuan’ dengan Allah. Itulah hal yang menyebabkan seseorang disebut sebagai Sufi. Penyebab lainnya yang membuat mereka dianugerahi gelar Sufi ialah karena mereka dapat berhubungan batin dengan para sahabat Nabi yang diberi gelar "sahabat-sahabat yang berpakaian bulu kambing biri-biri."

Gelar itu diberikan mungkin juga karena mereka berpakaian kasar yang dibuat dari bulu domba (dalam bahasa Arab disebut Suf) ketika mereka berada di peringkat awal suluk (perjalanan menuju Allah dalam din). Dan pakaian yang rnereka kenakan sepanjang hayat itu bertambal di sana-sini.

Pada keadaan zahirnya, mereka tampak miskin, papa, dan suka merendah diri. Begitu pula dengan kehidupan keseharian mereka di dunia kurang makan, kurang minum, kurang tidur, bahkan segala kesenangan dan kemewahan dunia mereka tinggalkan. Cara hidup mereka sehari-hari sangat wara'. Hikmah kebijaksanaan mereka terpantul pada sifat mereka yang lemah lembut, penuh santun, dan berakhlak mulia. Ini yang menjadi daya tarik orang-orang yang ingin mengetahui keadaan kaum Sufi.

Pendek kata, mereka menjadi contoh bagi manusia. Mereka mematuhi syari'at Islam. Pada sisi Allah, mereka adalah rnanusia yang berada di peringkat pertama. Pada pandangan orang- orang Salik (orang- orang yang sedang dalam perjalanan menuju Allah), mereka tampak indah meskipun pada keadaan lahirnya mereka tampak buruk. Mereka berada di peringkat Tauhid, ‘bersatu dengan Allah’. Dalam peringkat 'bersemadi dengan Allah’, segala gerak-geriknya, kata-katanya, dan perbuatannya, tunduk di bawah perintah dan kehendak Allah Maha Agung.


Tasawuf Menurut Pengertian Bahasa Arab


Dalam bahasa Arab istilah tasawuf terdiri atas empat huruf yaitu Ta', Shad, Wau, dan Fa'. Huruf Ta' berarti Taubat. Taubat adalah langkah pertama dalam perjalanan rnenuju Allah. Taubat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu zahir dan batin. Langkah zahir dalam bertaubat dilakukan melalui perkataan, perbuatan, dan perasaan, yaitu dengan cara membersihkan diri dari dosa dan noda, lebih banyak mentaati perintah Allah, dan berbuat dan berniat sesuai dengan ketentuan Allah Swt. Dan semua ini tidak akan berlaku tanpa terlebih dahulu muncul sifat khauf (takut) dan raja' (harapan) dalam diri orang yang menjalani tasawuf.

Orang yang tidak takut kepada Allah adalah orang yang tidak berakal. Begitu pula dengan orang yang tidak mempunyai harapan kepada Allah adalah orang yang bodoh. Bandar yang tidak mempunyai pengawal keamanan akan porak-poranda kehidupan konsumennya. Sama seperti kambing yang berada di padang rumput tanpa dijaga oleh seorang penggembala. la akan menjadi mangsa binatang buas. Agama adalah petunjuk. Orang yang beragama semestinya mengikuti petunjuk agamanya dan merasa takut bila melanggar perintahnya.

Tujuan si Salik ialah sampai kepada Al-Haq, yaitu Allah. Walaupun perjalanan yang akan ditempuhnnya jauh atau dekat, susah atau senang, si Salik akan terus mengarunginya hingga sampai ke tempat tujuan. Perjalanan yang ditempuh si Salik merupakan perjalanan ruhani, yakni perjalanan rahasia ke tempat rahasia (Sirr). Apabila ia tiba di pintu destinasinya, batin si Salik akan memohon izin untuk masuk ke dalamnya. Bila si tamu telah berada di pintu, ketuklah pintu itu hingga dibukakan oleh penghuninya. Sabarlah menunggu dan Insya Allah akhirnya pintu itu akan terbuka. Tamu yang tadinya menunggu di luar akhirnya masuk dan diterima oleh tuan rumah dengan penuh mesra dan rasa sayang . Itulah perumpamaan manusia yang mencari Allah, yang kemudian diterima oleh Allah dengan penuh kasih sayang.

Ahlullah adalah khalifah Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Mereka tidak takut kepada siapapun selain Allah dan mereka takut hanya kepada Allah. Karena itu mereka dititahkan menjadi khalifah Allah di muka dunia ini. Bintang yang cemerlang di dalam hatinya menjadi bulan, dan bulan berganti rnenjadi matahari, yang cahayanya tentu lebih terang- benderang. Sehingga akhirnya apa yang tersembunyi terlihat jelas, dan apa yang tampak pada batin akan membekas.

Husain ibn Mansur al-Hallaj - Kehidupan Sang Martir Part 1

Labels: ,

Husain ibn Mansur al-Hallaj barangkali adalah syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan mana yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodok, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. 

Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut.

Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."

 

Kehidupan Al-Hallaj

Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.

Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.

Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.

Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas mengapa ia berbuat demikian. Sama sekali tidak dijumpai ada laporan ihwal corak pendidikan khusus yang diperolehnya dari Sahl. Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima pendidikan khusus darinya. Namun, ini tidak berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada dirinya. Memperhatikan sekilas praktek kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj mengingatkan kita pada Sahl. Ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884M, ia sudah berada dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu.

Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga. Tampaknya seorang sahabat Amr yang bernama al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui kemampuan dan kapasitas spiritual dalam diri al-Hallaj dan menyarankan agar ia menikah dengan saudara perempuannya, (Massignon menunjukkan bahwa pernikahan ini mungkin punya alasan politis lantaran hubungan al-Aqta). Betapapun juga Amr tidak diminta pendapatnya, sebagaimana lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan kebencian dan permusuhan, serta bukan hanya memutuskan hubungan persahabatan antara Amr dan Al-Aqta, melainkan juga membahayakan hubungan guru-murid antara Amr dan al-Hallaj. Al-Hallaj yang merasa memerlukan bantuan dan petunjuk untuk mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad dan tinggal beberapa lama bersama Junaid, yang menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini berarti menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang bersama keluarganya dan ia kembali ke kota kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai belajar pada Junaid, terutama lewat surat-menyurat, dan terus mengamalkan kezuhudan.

Enam tahun berlalu, dan pada 892M, al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan mungkin juga Junaid.

Sangat boleh jadi bahwa Amr segera menentang al-Hallaj. Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid untuk kedua kalinya dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum sufi harus atau tidak harus mengambil tindakan untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj berpandangan harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan kehidupan sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan nasib Al-Hallaj.

Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.

Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.

ABU NAWAS

Labels:

Ilahi, lastu lilfirdausi ahla.
Wala aqwa 'ala naril jahimi
Fahab li tawbatan waghfir dzunubi.
Fainaka ghafirud dzanbil adzimi

Artinya:
Tuhanku, Hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus).
Namun, hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka.
Maka berilah hamba tobat dan ampunilah hamba atas dosa-dosa hamba.
Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Mahaagung


Dua bait syair di atas tentu sudah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia terutama kaum tradisionalis Islam. Beberapa saat menjelang shalat Magrib atau Subuh, jemaah di masjid-masjid atau musala di pedesaan biasanya mendendangkan syair tersebut dengan syahdu sebagai puji-pujian. Konon, kedua bait tersebut adalah hasil karya tokoh kocak Abu Nawas. Ia adalah salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah 1001 Malam.

Bagi masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian dan kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor. Mirip dengan Nasrudin Hoja, sesungguhnya ia adalah tokoh sufi, filsuf, sekaligus penyair. Ia hidup di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M).

Selain cerdik, Abu Nawas juga dikenal dengan kenyentrikkannya. Sebagai penyair, mula-mula ia suka mabuk. Belakangan, dalam perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah dan kehidupan sejati, ia menemukan kehidupan rohaniahnya yang sejati meski penuh liku dan sangat mengharukan. Setelah mencapai tingkat spiritual yang cukup tinggi, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Ia tampil sebagai penyair sufi yang tiada banding.

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti - yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.

Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina, Austria (1885), di Greifswald (1861), di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul.

Salah satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat menejelang sakaratulmautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya mengkafaninya dengan kain bekas yang lusush. Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan mengatakan. "Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama."

Tentu ini hanyalah sebuah lelucon, dan memang kita selama ini hanya menyelami misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi yang penuh liku dan sarat hikmah ini dalam lelucon dan tawa.

Anda tidak menemukan apa yang Anda cari di sini? Cobalah Cari dengan menggunakan Google Search di bawah ini :
Religion Blogging Blogs - BlogCatalog Blog Directory blogville